Rabu, 26 Maret 2014

Genosida Antar Etnis (2)


ARTIKEL SEBELUMNYA :
Pengertian Genosida dan Pengendaliannya

Kasus Genosida Internasional
            Selain di Indonesia, dunia memiliki sejarah sendiri tentang terjadinya Genosida. Sebagian kasus di antaranya adalah :
  • Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama sebelum Masehi.
  • Pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM.
  • Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7.
  • Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492.
  • Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya semenjak tahun 1788.
  • Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I.
  • Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
  • Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur garis perbatasan Oder-Neisse.
  • Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an.
  • Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussein Irak pada tahun 1980-an.
  • Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.
  • Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu.
  • Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia oleh Serbia antara 1991 - 1996. Salah satunya adalah Pembantaian Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu keputusan hukum.
  • Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi Janjaweed di Sudan pada 2004. Pembantaian ini dianggap Genosida oleh pemerintah Amerika Serikat namun dianggap tidak oleh PBB.

Dari sekian banyak kasus Genosida yang terjadi, kasus Rwanda merupakan salah satu kasus Genosida yang sangat bernuansa etnis. Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches” (cockroach : kecoa), dan menyamakan mereka tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “lets cut all the trees!” mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara Rwanda yang dimana di KTP tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu  yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.
Penyebab lain adalah terjadinya eskalasi konflik. Tidak adanya komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.[5]
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “Tutsi Rebels”. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.


Pengendalian dan Pencegahan Genosida dalam Masyarakat
            Telah dibahas sebelumnya bahwa Genosida merupakan bagian dari pola hubungan antar kelompok, dalam pokok bahasan disini, Genosida menjadi salah satu pola hubungan antar kelompok etnis. Berdasarkan uraian kasus kasus diatas, dapat terlihat bahwa genosida yang terjadi khususnya antar kelompok etnis berkembang dan pecah bukan hanya karena perilaku menyimpang dari kedua belah pihak yang memanfaatkan rasa etnosentris pada diri mereka untuk melakukan hal yang tidak manusiawi, tetapi ada juga faktor dari luar kelompok yang menyebabkan itu bisa terjadi.
            Salah satu yang dibahas diatas adalah ketidakpuasan kelompok atas kinerja pemerintah yang tidak tuntas dalam menyelesaikan masalah antar dua belah pihak sehingga menyebabkan kelompok bersangkutan mencari cara lain untuk menyelesaikan. Atas dasar solidaritas terhadap sesama kelompok satu etnis, maka mereka melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tidak manusiawi. Tindakan ini bisa dikategorikan tindakan yang menyimpang atau tidak sesuai harapan masyarakat. Selain itu adanya diversifikasi yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan berujung pada dendam yang mengakar.
            Sehubungan dengan penyimpangan yang dilakukan kelompok tentunya ada pengendalian sosial yang dilakukan. Menurut Berger, cara pengendalian terakhir dan tertua adalah dengan paksaan fisik.
            Pada kasus kerusuhan Sampit maupun kasus Rwanda, bentuk pengendalian yang dilakukan adalah dalam bentuk fisik. Hal ini dilakukan karena kategori penyimpangan yang dilakukan masyarakat sudah memasuki kategori  criminal berat yang direncanakan oleh kolektif. Bentuk pengendalian yang diambil pun lebih kuat yaitu melalui militer pemerintahan yang turun langsung dan menghentikan tindakan Genosida secara langsung dan fisik. Dalam kasus Rwanda khususnya yang merupakan peristiwa cukup besar, militer yang digunakan untuk mengendalikan sebagian besar berasal dari luar negri dimana pasukan-pasukan perdamaian berdatangan dari berbagai Negara untuk menghentikan tragedi kemanusiaan abad 20 itu
            Disamping itu, baik di Indonesia maupun internasional telah ditetapkan hukum-hukum tentang keberlangsungan hidup (HAM) pada umumnya dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat dan golongan baik etnis atau bukan. Di Indonesia Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hakasasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia
            Akan tetapi Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Berdasarkan UU no. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM meliputi kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7a : “ adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;  Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; “
            Dunia internasional sendiri merujuk peraturan HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan organisasi dunia dan dibentuk dengan alasan utama hak asasi manusia. Kekejaman dan Genosida setelah Perang Dunia II menyebabkan munculnya konsensus bahwa organisasi baru ini harus bekerja untuk mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Tujuan awal adalah menciptakan kerangka hukum untuk mempertimbangkan dan bertindak atas keluhan tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa hak 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia juga merupakan suatu fokus untuk PBB, dengan Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 2007. Deklarasi ini menguraikan hak-hak individu dan kolektif untuk budaya , bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan, menyikapi isu-isu pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama berabad-abad. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat dan mendorong pertumbuhan adat, budaya institusi dan tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal yang menyangkut masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka.

            Meski bisa dilakukan tindakan pengendalian, perlu juga dipahami bahwa tindakan pencegahan akan jauh lebih baik jika tindakan pencegahan juga dilakukan sejak awal. Jika menilik kasus genosida bernuansa etnis diatas, dapt terlihat bahwa masalh antar dua kelompok bertikai dimulai dari ketidakcocokan dan prasangka yang berkembang menjadi streotip negatif tertentu. Diversifikasi etnis yang dilakukan pihak luar ataupun pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya. Dan yang paling utama adalah tidak terselesaikannya urusan hukum secara tuntas antara kedua belah pihak yang berseteri sehingga salah satu pihak atau keduanya memilih untuk bertindak secara agresif untuk mendapat keinginannya. Karena itu tindakan pencegahan yang paling penting adalah berasal dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kuasa lebih.
            Tindakan pencegahan yang paling utama adalah memastikan apabila ada kasus antar dua kempompok etnis,  proses hukum berjalan dengan sebagaimana mestinya sesuai peraturan yang berlaku dan tanpa memihak salah satunya. Dengan berjalannya proses hukum yang baik, akan menimbulkan kepercayaan terhadap hukum sehingga jika ada suatu pertikain baik bernuansa etnis ataupun tidak, kelompok-kelompok tersebut akan mempercayakan penyelesaiannya kepada hukum pemerintah bukannya malah bertindak agresif dan menyimpang.
            Tindakan pencegahan berikutnya adalah memastikan peraturan-peraturan yang ada sudah cukup meng-cover segala hak dan kewajiban serta perlindungan bagi masyarakat etnis tanpa mendahulukan atau menkhususkan etnis manapun. Dengan adanya peraturan tersebut, masyrakat etnis akan merasa aman dan tidak akan terpicu untuk membuat tindakan sendiri tapi menjadikan peraturan pemerintah sebagai rujukan pertama.
            Kedua pencegahan diatas sangat penting untuk menghindari eskalasi konflik yang mungkin terjadi antar dua kelompok etnis terutama di Negara Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bangsa berbeda. Penting bagi Indonesia untuk memliki peraturan dengan status hukum yang kuat tentang keberadaan ettnis-etnis yang berbeda dalam kawasaanya. Tugas pemerintahlah untuk memastikan semua peraturan dijalankan dengan sesuai.
            Selain pencegahan dari pihak luar, anggota kelompok etnis sendiri pun perlu menumbuhkan rasa toleransi terhadap etnis lain sebagai salah satu langkah merubah pola pikir atas prasangka maupun stereotip etnis tertentu yang kerap kali menjadi awal permusuhan antar etnis. Stereotip-stereotip yang berkembang seperti suku Minang yang perhitungan, suku Batak yang kasar ataupu suku Jawa yang kaku dan konservatif sebenarnya bisa dihapuskan. Harus ada pemahaman di kalangan semua masyarakat terutama masyarakat yang masih menganut nilai-nilai etnis tertentu bahwa stereotip bukanlah penilaian mutlak untuk keseluruhan mayarakat etnis tertentu. Sehingga tidak ada anggapan bahwa etnis tertentu adalah lebih baik dari etnis lainnya. Sikap saling toleran dan terbuka dengan perbedaan tentunya mampu menumbuhkan sikap saling menghormati antar etnis sehingga tidak akan terjadi pertikaian hingga tindakan seperti Genosida.




DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. “Pengantar Sosiologi”. Jakarta : LPFEUI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar