Rabu, 26 Maret 2014

Genosida Antar Etnis (1)


Pengertian Genosida dan Etnosentrisme
            Genosida dalam ilmu sosiologi termasuk sebagai bagian pola hubungan antar kelompok. Kontak antar dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi (perpaduan budaya), dominasi (satu ras menguasai ras yang lain), paternalism (dominasi ras pendatang), atau integrasi (pengakuan perbedaan)[1]. Dalam kaitan dengan dominasi, menurut Kornblum terdapat empat macam kemungkinan proses yang dapat terjadi yaitu pengusiran, perbudakan, segregasi, asimilasi dan terakhir adalah Genosida[2].
Genosida secara umum didefinisikan sebagai sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum PolandiaRaphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serika. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.[3]
Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.
            Genosida yang secara keseluruhan diartikan sebagai pemusnahan masal etnis tertentu memilki banyak faktor penyebab atau latar belakang hingga terjadinya Genosida tersebut. faktor-faktor yang melatarbelakanginya  bisa berasal dari kepentingan politik, ekonomi, agama, faham golongan tertentu, dan yang terkahir adalah isu etnis. Namun yang akan didiskusikan dalam tulisan ini adalah Genosida yang dipengaruhi isu etnis.
            Kelompok etnis diartikan oleh Francis sebagai sebuah komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik. Mengingat bahwa di Indonesia dikenal konsep suku bangsa, Koentjaraningrat (1983) berpendapat bahwa kedua konsep bermakna sama namun mengusulkan agar istilah kelompok etnis diganti denga golongan etnis, dan yang dimaksud dengan golongan disini adalah termasuk dalam kategori sosial.
            Etnosentrisme sendiri jika disesuaikan, mempunyai makna sebuah pandangan bahwa kelompok etnis sendiri merupakan pusat segalanya dan semua kelompok etnis lain ditimbang dan diukur dengan mengacu pada kelompok etnis sendiri.


Kasus genosida di Indonesia

            Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
  • Pembunuhan masal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh Belanda pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk bekerja. Akibat pembunuhan tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dr Negara dan daerah lain. Jumlah pasti tidak diketahui. Dalam kesaksian disebut hamper semua penduduk meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
  • Pembantaian pada zaman Kerja Tanam Paksa setelah Perang Jawa (1825-1830) dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch. Jumlah pasti korban tidak diketahui.
·         Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan. Tidak hanya kaum pro-kemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka agama, pemuka golongan dan para Raja di zaman itu.
  • Westerling di Sulawesi Selatan. Menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat 40.000 orang meninggal meski Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal.
·         Tragedi 1965. Setelah gerakan G30SPKI terjadi, gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana. Militer dikerahkan ke seluruh negri,  Mereka yang dianggap pendukung komunis, dibantai, ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil dan bukti yang jelas. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah buruh dan petani.
·         Tragedi mei 1998 dimana etnis tionghoa mengalami pembantaian, pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan.
  • Kerusuhan Sampit, (Februari 2001) Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Suku Madura.
Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi sebelum masa kemerdekaan memiliki motif atau latar belakang kepentingan politik para penjajah di masa itu. Sedangkan kasus Genosida yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia seperti kasus G30SPKI dimana pembantaian dilakukan terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk golongan komunis merupakan kasus Genosida dengan latar belakang faham atau golongan.
Kasus Genosida yang disebut terakhir, yaitu kerusuhan Sampit merupakan salah satu kasus Genosida yang memiliki latar belakang pertikaian budaya dan sarat dengan isu etnis. Kerusuhan ini seringkali diperbincangkan bukan hanya karena kejadiannya yang mencekam tapi juga latar belakang dan motif dibalik  terjadinya kerusuhan tersebut.
Suku dayak hidup tersebar di  tidak hanya di Kalimantan Tengah, tapi juga Kalimantan Barat, Selatan dan Utara. Suku dayak di daerah-daerah tersebut hidup dengan damai berdampingan dengan suku-suku lain. Akan tetapi kebudayaan suku Madura yang menempati Kalimantan Tengah 50 tahun sebelum kerusuhan Sampit terjadi ternyata mempunyai beberapa ketidakcocokan dengan kebudayaan suku Dayak yang telah mendiami Kalimantan tengah sejak lama. Suku Madura dianggap terlalu keras, hal ini dicontohkan dengan salah satu kebiasaan suku Madura yang kerap membawa senjata tajam seperti parang dan celurit saat mereka berpergian. Sedangkan bagi suku Dayak, senjata tajam hanya dibawa saat akan pergi berperang dan berburu. Hal ini menyebabkan pandangan bagi suku dayak bahwa suku Madura adalah suku yang selalu ‘siap berperang’.
Selain itu para pemuka suku Dayak juga menilai warga Madura tidak mau beradaptasi dengan kebudayaan setempat. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan seringnya terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Pelanggaran ini tidak hanya menyinggung nilai budaya warga Dayak tapi juga mendesak warga Dayak pedalaman untuk berpindah tempat tinggal jauh lebih kedalam hutan karena tanah mereka ditebangi.
Hal lain yang menjadi pemicu utama peristiwa Sampit adalah banyaknya kasus antara warga Madura dan warga Dayak yang tidak diselesaikan dengan seharusnya. Tercatat dari tahun 1972 hingga tahun 2001 sedikitnya ada 15 kasus pembunuhan dan pemerkosaan oleh warga Madura atas warga Dayak yang tidak mendapat penyelesaian hukum yang layak. Keseluruhan kasus tersebut berkahir dengan tidak tertangkapnya pelaku, atau tertangkap tapi lalu dibebaskan tanpa tuntutan. Kasus pembunuhan seorang warga Dayak oleh suku Madura pada Februari 2001 merupakan pemicu yang berlanjut dengan kerusuhan Sampit yang mencekam. Dimana warga Dayak berbondong-bondong ‘membersihkan’ warga Madura di Kalimantan Tengah. Mereka melakukan sweeping besar-besaran dari rumah ke rumah untuk mencari warga Madura. Pembantaian yang dilakukan oleh warga Dayak tidak mengenal usia ataupun jenis kelamin. Rumah-rumah maupun properti milik suku Madura dibakar hingga habis. Pihak berwajib pun tidak mampu membendung arus suku Dayak yang datang dari berbagai pedalaman di Kalimantan Tengah. Bahkan ada satu versi cerita yang menyatakan bahwa sebelum berangkat untuk ‘pembersihan’, mereka disumpah untuk membersihkan suku Madura hingga habis di tanah Kalimantan Tengah.
Kerusuhan ini menyebabkan jatuhnya banyak korban dari pihak Madura. Media massa menyebutkan bahwa tidak kurang dari 200 warga Madura terbunuh namun diduga korban lebih daripada itu karena pembersihan bukan hanya terjadi di ibukota Palangkaraya tapi juga di seluruh kecamatan pelosok Kalimantan Tengah. Selain pembantaian warga Madura, warga Dayak juga melakukan demonstrasi di Palangkaraya untuk menuntut pemerintah setempat agar mengusir warga Madura dari Kalimantan Tengah.
Dari peristiwa Sampit dapat terlihat bahwa Genosida yang terjadi erat kaitannya dengan rasa solidaritas berlebihan antar  sesama yang diperlihatkan suku Dayak. Mereka melakukan agresi dipicu prasangka (prejudice) dan ketidakpuasan masyarakat Dayak terhadap hukum yang berjalan. Salah satu teori yang dipelopori Dollard ialah teori frustasi-agresi (frustassion-agression theory). Menurut Banton (1967:294-299) teori ini mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan terhalang. Jika agresi tidak bisa ditujukan kepada pihak yang menghalangi usahanya, maka agresi akan dialihkan (displaced) ke suatu  kambing hitam[4]. Jika dilihat melalui teori ini, agresi yang dilakukan warga Dayak adalah bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak memastikan hukum berjalan dengan baik di setiap permasalahan antar kedua belah pihak. Di sisi lain, prasangka yang terbentuk atas warga Dayak terhadap warga Madura kian berkembang menjadi stereotip yang menganggap bahwa semua warga Madura sama persis dengan prasangka mereka meski kenyataanya tidak semua warga Madura memiliki perilaku yang sama.

ARTIKEL LAIN :
Kasus Genosida Internasional dan Pengendalian Serta Pencegahan Genosida

DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. “Pengantar Sosiologi”. Jakarta : LPFEUI





[1] Banton (1967:68-76)
[2] Lihat Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: LPFEUI, 2004), hal. 149.
[4] Lihat  Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (LPFEUI: 2004) hal. 152
[5] http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/03/konflik-rwanda-hutu-tutsis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar