Pengertian Genosida dan Etnosentrisme
Genosida dalam ilmu sosiologi
termasuk sebagai bagian pola hubungan antar kelompok. Kontak antar dua kelompok
ras dapat diikuti proses akulturasi (perpaduan budaya), dominasi (satu ras
menguasai ras yang lain), paternalism (dominasi ras pendatang), atau integrasi
(pengakuan perbedaan)[1]. Dalam
kaitan dengan dominasi, menurut Kornblum terdapat empat macam kemungkinan
proses yang dapat terjadi yaitu pengusiran, perbudakan, segregasi, asimilasi
dan terakhir adalah Genosida[2].
Genosida
secara umum didefinisikan sebagai sebuah pembantaian besar-besaran secara
sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud
memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh
seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada
tahun 1944 dalam
bukunya Axis Rule in
Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serika. Kata ini
diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras',
'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa
Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang
berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.
Pelanggaran HAM berat
lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan
perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut
Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah
kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke
kelompok lain.[3]
Ada
pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan
melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau
menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.
Genosida yang secara keseluruhan
diartikan sebagai pemusnahan masal etnis tertentu memilki banyak faktor
penyebab atau latar belakang hingga terjadinya Genosida tersebut. faktor-faktor
yang melatarbelakanginya bisa berasal
dari kepentingan politik, ekonomi, agama, faham golongan tertentu, dan yang
terkahir adalah isu etnis. Namun yang akan didiskusikan dalam tulisan ini
adalah Genosida yang dipengaruhi isu etnis.
Kelompok etnis diartikan oleh
Francis sebagai sebuah komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat
kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik. Mengingat bahwa di
Indonesia dikenal konsep suku bangsa, Koentjaraningrat (1983) berpendapat bahwa
kedua konsep bermakna sama namun mengusulkan agar istilah kelompok etnis
diganti denga golongan etnis, dan yang dimaksud dengan golongan disini adalah
termasuk dalam kategori sosial.
Etnosentrisme sendiri jika
disesuaikan, mempunyai makna sebuah pandangan bahwa kelompok etnis sendiri
merupakan pusat segalanya dan semua kelompok etnis lain ditimbang dan diukur
dengan mengacu pada kelompok etnis sendiri.
Kasus
genosida di Indonesia
Indonesia sebagai Negara kesatuan
yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak
sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki
ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan
suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis
yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari
berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
- Pembunuhan
masal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh Belanda pada zaman Jan
Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk bekerja. Akibat pembunuhan tersebut
belanda terpaksa mendatangkan budak dr Negara dan daerah lain. Jumlah
pasti tidak diketahui. Dalam kesaksian disebut hamper semua penduduk
meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
- Pembantaian
pada zaman Kerja Tanam Paksa setelah Perang Jawa (1825-1830) dibawah
kepemimpinan Jenderal Van den Bosch. Jumlah pasti korban tidak diketahui.
·
Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan. Tidak hanya
kaum pro-kemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka agama, pemuka golongan dan para Raja di zaman itu.
- Westerling
di Sulawesi Selatan. Menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat
40.000 orang meninggal meski Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang
meninggal.
·
Tragedi 1965. Setelah
gerakan G30SPKI terjadi, gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana.
Militer dikerahkan ke
seluruh negri, Mereka yang dianggap pendukung
komunis, dibantai, ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil dan bukti
yang jelas. Kebanyakan dari mereka
yang ditangkap adalah buruh dan petani.
·
Tragedi mei 1998 dimana etnis tionghoa mengalami pembantaian,
pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan.
- Kerusuhan
Sampit, (Februari 2001) Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Suku
Madura.
Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi sebelum masa kemerdekaan memiliki
motif atau latar belakang kepentingan politik para penjajah di masa itu. Sedangkan
kasus Genosida yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia seperti kasus G30SPKI
dimana pembantaian dilakukan terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk
golongan komunis merupakan kasus Genosida dengan latar belakang faham atau
golongan.
Kasus
Genosida yang disebut terakhir, yaitu kerusuhan Sampit merupakan salah satu
kasus Genosida yang memiliki latar belakang pertikaian budaya dan sarat dengan
isu etnis. Kerusuhan ini seringkali diperbincangkan bukan hanya karena kejadiannya
yang mencekam tapi juga latar belakang dan motif dibalik terjadinya kerusuhan tersebut.
Suku
dayak hidup tersebar di tidak hanya di
Kalimantan Tengah, tapi juga Kalimantan Barat, Selatan dan Utara. Suku dayak di
daerah-daerah tersebut hidup dengan damai berdampingan dengan suku-suku lain.
Akan tetapi kebudayaan suku Madura yang menempati Kalimantan Tengah 50 tahun
sebelum kerusuhan Sampit terjadi ternyata mempunyai beberapa ketidakcocokan
dengan kebudayaan suku Dayak yang telah mendiami Kalimantan tengah sejak lama.
Suku Madura dianggap terlalu keras, hal ini dicontohkan dengan salah satu
kebiasaan suku Madura yang kerap membawa senjata tajam seperti parang dan
celurit saat mereka berpergian. Sedangkan bagi suku Dayak, senjata tajam hanya
dibawa saat akan pergi berperang dan berburu. Hal ini menyebabkan pandangan
bagi suku dayak bahwa suku Madura adalah suku yang selalu ‘siap berperang’.
Selain
itu para pemuka suku Dayak juga menilai warga Madura tidak mau beradaptasi
dengan kebudayaan setempat. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan seringnya
terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang
kebetulan didominasi oleh orang Madura. Pelanggaran ini tidak hanya menyinggung
nilai budaya warga Dayak tapi juga mendesak warga Dayak pedalaman untuk
berpindah tempat tinggal jauh lebih kedalam hutan karena tanah mereka
ditebangi.
Hal
lain yang menjadi pemicu utama peristiwa Sampit adalah banyaknya kasus antara
warga Madura dan warga Dayak yang tidak diselesaikan dengan seharusnya.
Tercatat dari tahun 1972 hingga tahun 2001 sedikitnya ada 15 kasus pembunuhan
dan pemerkosaan oleh warga Madura atas warga Dayak yang tidak mendapat
penyelesaian hukum yang layak. Keseluruhan kasus tersebut berkahir dengan tidak
tertangkapnya pelaku, atau tertangkap tapi lalu dibebaskan tanpa tuntutan.
Kasus pembunuhan seorang warga Dayak oleh suku Madura pada Februari 2001
merupakan pemicu yang berlanjut dengan kerusuhan Sampit yang mencekam. Dimana
warga Dayak berbondong-bondong ‘membersihkan’ warga Madura di Kalimantan
Tengah. Mereka melakukan sweeping
besar-besaran dari rumah ke rumah untuk mencari warga Madura. Pembantaian yang
dilakukan oleh warga Dayak tidak mengenal usia ataupun jenis kelamin. Rumah-rumah
maupun properti milik suku Madura dibakar hingga habis. Pihak berwajib pun
tidak mampu membendung arus suku Dayak yang datang dari berbagai pedalaman di
Kalimantan Tengah. Bahkan ada satu versi cerita yang menyatakan bahwa sebelum
berangkat untuk ‘pembersihan’, mereka disumpah untuk membersihkan suku Madura
hingga habis di tanah Kalimantan Tengah.
Kerusuhan
ini menyebabkan jatuhnya banyak korban dari pihak Madura. Media massa
menyebutkan bahwa tidak kurang dari 200 warga Madura terbunuh namun diduga korban
lebih daripada itu karena pembersihan bukan hanya terjadi di ibukota
Palangkaraya tapi juga di seluruh kecamatan pelosok Kalimantan Tengah. Selain
pembantaian warga Madura, warga Dayak juga melakukan demonstrasi di
Palangkaraya untuk menuntut pemerintah setempat agar mengusir warga Madura dari
Kalimantan Tengah.
Dari
peristiwa Sampit dapat terlihat bahwa Genosida yang terjadi erat kaitannya
dengan rasa solidaritas berlebihan antar
sesama yang diperlihatkan suku Dayak. Mereka melakukan agresi dipicu prasangka
(prejudice) dan ketidakpuasan masyarakat Dayak terhadap hukum yang berjalan.
Salah satu teori yang dipelopori Dollard ialah teori frustasi-agresi
(frustassion-agression theory). Menurut Banton (1967:294-299) teori ini
mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh
kepuasan terhalang. Jika agresi tidak bisa ditujukan kepada pihak yang
menghalangi usahanya, maka agresi akan dialihkan (displaced) ke suatu kambing hitam[4].
Jika dilihat melalui teori ini, agresi yang dilakukan warga Dayak adalah bentuk
ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak memastikan hukum berjalan dengan
baik di setiap permasalahan antar kedua belah pihak. Di sisi lain, prasangka
yang terbentuk atas warga Dayak terhadap warga Madura kian berkembang menjadi
stereotip yang menganggap bahwa semua warga Madura sama persis dengan prasangka
mereka meski kenyataanya tidak semua warga Madura memiliki perilaku yang sama.
ARTIKEL LAIN :
Kasus Genosida Internasional dan Pengendalian Serta Pencegahan Genosida
ARTIKEL LAIN :
Kasus Genosida Internasional dan Pengendalian Serta Pencegahan Genosida
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. “Pengantar Sosiologi”. Jakarta : LPFEUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar